..friends in solitude

2006-12-01

Boys Will Be Boys

Hey, lelakiku! Aku ingin bicara denganmu. Bukankah sudah kukatakan dalam smsku yang kukirimkan padamu sehabis makan siang tadi, bahwa aku merindukanmu. Rindu berdiskusi denganmu. Rindu menghabiskan berjam-jam dalam obrolan bermutu atau debat kusir. Apapun. Aku rindu berbagi denganmu.

Maka alihkan pandanganmu dari depan layar notebook baru yang kau beli minggu lalu seharga $1400 itu. Angkat jari-jarimu dari tuts keyboard dan belailah rambutku. Bukankah kau dulu sering berkata bahwa membelai rambutku bisa membuatmu kecanduan? Yah, aku cuma bisa berfikir positif, efek candunya sudah menghilang mungkin.

“Babe, ngobrol yuk”, kataku dengan suara semanja mungkin.
“Ya ngomong aja. Aku dengerin, kok”
Sial, candu suara manja juga efeknya sudah pudar.
“Kamu jangan ngetik terus dong”, masih dengan suara manja.
“Hmm.. Bentar ya. Nanggung, nih”
(Dalam hati) “Aaaargh!”

Entah apa yang kau tulis disitu. Report bulanan? Pekerjaan yang tertunda? Atau kau hanya begitu mengagumi kecanggihan mainan barumu? Mungkin sekarang dalam hati kau sedang menggumamkan lagu Can’t Take My eyes Off Of You. You’re just too good to be true, can’t take my eyes off of you..

Sampai akhirnya empatpuluhdelapan menit kemudian (yes I really do count!), matamu masih terpaku pada layar, dan jarimu masih asyik pencet sana-pencet sini. Mungkin juga masih sambil menggumamkan lagu Can’t Take My Eyes Off Of You. Dan aku masih dengan sabar menantimu untuk mulai berbicara denganku.

Tigabelas menit setelah empatpuluhdelapan menit yang membosankan. Keadaannya masih sama. Mungkin aku harus menjalankan trik pura-pura menyerah.

“Babe, aku pulang ya?”, sambil bangkit dan meraih tas.
“Kok?”, tanpa menoleh sedikitpun.
“Kamunya juga sibuk”, dengan suara datar.
Yes. Dia memandangku dan jarinya berhenti mengetik.
“Ngambek ya?”
“Gak kok. Cuma.. Kamu kayanya lagi sibuk banget aja. Aku ga mau ganggu”, sambil membuang muka dengan dramatis.
Yes lagi. Dia bangkit dan merangkulku. Lalu mencium keningku.
“Hmmm. Maaf ya sayang”
“Gak apa-apa kok. Aku ngerti” (yang sebenarnya ingin dikatakan adalah:”Aku tau kamu sibuk, tapi kan aku udah ampir sejam sabar nungguin kamu. Sekarang berenti kerja dan kita ngobrol yuk. Aku kan kangen sama kamu”)
“Bener, kamu maafin aku? Ga marah?”
Aku mengangguk manja sambil memberikan senyum paling manis.
Triple yes. Dia memelukku lebih erat.
“Ya udah. Kamu naik taksi gak apa-apa kan sayang? Aku emang lagi sibuk banget. Kalau kamu mau ku antar paling malem banget”
(Dalam hati) “HAAAAHHHHH?????!!!!!!!”
“Aku antar sampai lift aja ya?”
“Ga usah. Aku sendiri aja. Dah”
“Dah, Babe”, dengan nada tanpa dosa.

Dan akupun mengomel sepanjang perjalanan.

Dasar lekong.



‘Menghapus’ Masa Lalu

ERIN
(Sedang mengecek file-file lama yang perlu dihapus dari flashdisc)
“Eh Lan, loe udah pernah liat Ardi mantan gue belum sih?”

LANA
“Udah, kali. Kan udah pernah nebeng mobilnya”

ERIN
“Oh iya ya? Ga sih, soalnya gua masih ada foto-fotonya. Kali-kali loe mau liat”

LANA
“Hah? Masih loe simpen? Ngapain sih?”

ERIN
“Ini juga mau gue apus. Ada di flashdisc gue. Loe tau sendiri, gue kan paling males ngecek-ngecek flashdisc dan ngapusin file-file lama. Mumpung sempet”

LANA
“Eh gue juga mau apus foto-foto si Danang, mantan gue itu lho. Ada di flashdisc gue”

ERIN
“Ya udah. Bentar ya”
(Mencabut flashdisc tanpa menghapus foto-foto yang katanya mau dihapus)

LANA
(Memasang flashdisc miliknya. Membuka folder berisi foto-foto sang mantan)
“Ya ampun, gue masih punya foto pas bareng Danang ke Ragunan? Itu kan udah lama banget”

ERIN
“Hmmm.. Banyak juga ya fotonya?”

LANA
(Sambil mencermati semua foto-foto yang rencananya mau dihapus)
“Lumayan”

ERIN
“Eh ntar gue mau cek kerjaan yang tadi gue save di laptop ini ya”

LANA
“Oh ya udah, cek aja”
(Mencabut flashdisc juga tanpa menghapus foto-foto yang katanya mau dihapus)


Dan foto-foto itu pun tetap ada di dalam gadget kecil berkapasitas masing-masing 1 giga itu.

Dasar perempewi.


Tempat Sampah

Dan disitulah akhirnya ‘kami’ tergeletak. Di dasar tempat sampah di pojok kamar.

Enam tahun penuh tawa. Enam tahun penuh air mata. Enam tahun penuh cerita. Enam tahun penuh derita. Hubungan berdarah-darah, kalau boleh meminjam terminologi salah seorang sahabatku. Hubungan berdarah-darah yang, bagaimanapun, sarat makna.

Sempat terfikirkan memang ‘kami’ akan berakhir. Tapi waktu itu yang terlintas adalah, semua hanya akan mengendap di dasar hati saja. Disembunyikan baik-baik, dan disimpan diam-diam. Tidak dicampakkan ke tempat sampah. Bahkan sekarang keadaannya adalah bukan cuma dicampakan, tapi dicampakan dengan semena-mena.

‘Kami’ memang tak pernah mulus, tapi rasanya ‘kami’ juga tidak seberantakan itu sampai pantas disebut sampah. Sebenarnya keputusan untuk mengakhiri ‘kami’ diantara plastik bekas kerupuk kulit, botol kosong vitamin c dosis tinggi, dan kertas pembungkus sate padang sisa makan malam memang terasa agak berlebihan. Tapi kenyataannya, itulah yang terjadi. Mungkin ini terjadi karena aku benar-benar kecewa. Marah. Merasa semuanya tidak adil. Dan terlalu lelah untuk berfikir dua kali mengenai keputusan ini. Tapi yang pasti memang semuanya harus benar-benar berakhir. Tak ada lagi ‘kami’. Bahkan tidak pula ‘kami’ yang saling berteman. Jadi tempat sampah mungkin memang tempat yang paling pas untuk melenyapkan ‘kami’.

Dan aku menerimanya. Dengan helaan nafas dan senyum kecil, “Baiklah”. Kuyakinkan hatiku. So long, then.

Jadi, disitulah foto-foto, kartu ucapan, kotak pembungkus kado, note-note penuh pesan cinta, dan apapun yang mewakili ‘kami’, terserak. Mungkin ada baiknya hatiku kulempar juga kedalam sana. Tapi tidak, ah. Aku masih butuh hatiku untuk bisa menjalani semuanya besok, lusa, dan seterusnya dan seterusnya.

Dan demi menghindari ‘kami’ kembali ke tempatnya semula keesokan hari, malam itu juga kukosongkan si tempat sampah di bak sampah besar di halaman rumahku dengan diiringi doa:”Semoga setelah ini, aku tak perlu lagi membuang kisah cintaku ke tempat sampah”. Amin.