..friends in solitude

2006-10-02

AKU, LAKI-LAKI, MANDUL

Aku dulu suka menulis. Apa saja aku tulis. Keseharianku, kisah cintaku, cerita fiksi, taman, langit, sungai, puisi, lagu. Apa saja bisa kutulis.

Tapi sekarang tidak lagi. Keseharianku hanya berupa rutinitas membosankan yang tidak menarik untuk ditulis. Kenyataan sekarang jauh lebih rumit sehingga membuat cerita fiksi jadi terlalu mengada-ada. Taman, langit, apalagi sungai, sudah tidak ada yang istimewa lagi. Kata-kata ‘mahal’ untuk puisi dan lagu-lagu yang biasanya mengalir begitu saja dari otek ke ujung jari-jariku yang menggenggam pena kini menguap entah kemana. Dan kisah cinta.. Kisah cinta apa?

Teman-teman yang dulu selalu berebutan menikmati tulisanku, drai sekedar coret-coretan curhat cinta monyet jaman SMP, sampai novel pendek yang tak pernah diterbitkan, masih selalu ribut menanyakan tulisanku. Mereka rindu dihibur tulisanku, kata mereka. Dan aku selalu menjawab, sekarang aku terlalu sibuk untuk menulis. Benarkah aku terlalu sibuk untuk menulis sementara di jaman kuliah dulu, bahkan di sela-sela dosen yang sedang menerangkan, aku mampu merampungkan sebuah cerpen?

Mari, mari berkumpul dan akan kuceritakan alasan sesungguhnya. Aku mandul. Betul, aku mandul. M A N D U L. Semenjak setahun lalu aku mandul. Akupun sangat ingin menulis lagi sebetulnya. Dan akupun sangat rindu menghibur diri dengan tulisan-tulisanku. Tapi tiap sebuah ide muncul dan aku memegang pena, yang bisa kutuliskan hanyalah empat huruf saja. R e g a. Kupejamkan mata. Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal dan kugelengkan kuat-kuat. Masih tetap hanya empat huruf yang bisa kutuliskan. R e g a. Kali ini disertai helaan nafas panjang.

Empat huruf itulah yang telah membuatku mandul. Merenggut kemampuan melahirkan tulisan-tulisan penuh makna dari diriku. Membunuh ide-ideku bahkan sebelum mereka dilahirkan.

Rega dan kata-kata ‘Selamat tinggal’ nya yang membuat semua kisahku tidak lagi istimewa untuk ditulis.

Kalau teman-temanku tau ini, mereka sudah hampir dipastikan akan mengataiku ‘cemen’. Masa bodoh. Tapi menulis memang harus drai hati. Dan hatiku mati ketika katanya tak ada lagi cinta untukku.

Aku ingin menulis lagi. Lebih dari empat huruf. Kalau mereka rindu, apalagi aku. Tapi aku tak bisa sendiri. Maka aku mencari degup yang bisa menggerakan lagi hatiku. Melupakan luka. Dan menghapus Rega selamanya dari kertas-kertas bloc note-ku.


Kemudian aku berhenti berusaha menulis dan mulai merenung..

Mungkin yang kubutuhkan adalah seseorang yang menghubungkanku dengan sisi lain, dunia lain. Bagian lain dimana si empat huruf itu tidak eksis. Seorang teman, mungkin. Atau seorang kekasih. Atau apapun.

Atau mungkin aku hanya butuh diriku sendiri untuk bisa terhubung dengan dunia itu. Baiklah. Sendiri lagi, lagi-lagi sendirian. Sounds familiar, huh?

Dan aku merenung lebih lama lagi..

Aku dangkal, Tuhanku. Ampuni aku. Tentu kehadiran laki-laki lain bukan jawaban dari segala pertanyaan di benaku. Dan pastinya bukan akhir dari pencarianku. Aku hanya perlu memahami. Bahwa hidup ini adalah tentang kesabaran.