Mungkin ada yang pernah membaca postingan ini di Dwelling of The Murmurs. Memang sengaja saya muat juga disin karena rasanya lebih cocok untuk dimuat disini. Lanjutannya juga (kelak) akan hanya bisa dibaca disini.Silahkan..
DESIRES DESIRES. LIVING DESIRE. LOVING DESIRE. (this is a tentative title).
Dimmy
Wajah itu selalu terlintas di pikiran Dimmy. Wajah yang nyaris sempurna dengan senyum paling luar biasa yang pernah dia lihat. Katanya pemilik wajah itu kembang kampus. Gadis paling manis dengan gerak-gerik yang lembut. Nyaris seperti peri.
She floats like a feather..
Gadis peri.
Selalu di pojok jalan, di bawah pohon mangga. Menunggu mobil sedan silver menjemputnya. Lalu menghilang di tikungan. Mengapa di pojok jalan? Dan mengapa pohon mangga? Pertanyaan itu tak pernah mengganggu Dimmy. Satu hal yang mengganggu hanyalah, siapa dibalik kemudi sedan silver itu. Mengganggu karena menimbulkan perasaan tak nyaman di hati Dimmy.
Delapan belas hari lalu.
Rutinitas pagi: bangun, mandi, menyeduh kopi, mengoles selai pada roti, sarapan, membereskan tempat tidur, pakai sepatu, kunci pintu kosan, menunggu bis di halte.
Tapi hari itu ada yang lain.
Dimmy jatuh cinta pada pandangan pertama. Untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Sepuluh menit selanjutnya adalah momen yang ingin Dimmy simpan dalam ingatan untuk selamanya. S e l a m a n y a. Rekaman seorang gadis dengan gerak-gerik yang lembut. Nyaris seperti peri. Dan semua yang lain di sekitarnya hanyalah gambar kabur. Setiap gerakan gadis peri seperti slow motion. S l o w m o t i o n.
Dimmy jatuh cinta pada pandangan pertama. Untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Lalu muncul sedan silver yang dikemudikan seorang laki-laki berkacamata (Dimmy bisa melihat sekilas ketika sedan itu melewatinya). Berhenti di depan gadis peri. Gadis peri naik. Dan menghilang di tikungan.
Dimmy cemburu. Bukan untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya, tapi ini pertama kalinya terasa sangat mengganggu.
Sepuluh hari lalu.
Rutinitas pagi: bangun, mandi, menyeduh kopi, mengoles selai pada roti, sarapan, membereskan tempat tidur, pakai sepatu, kunci pintu kosan, menunggu bis di halte. Menatap gadis peri yang tak pernah sadar akan gejolak di hati Dimmy.
Akhirnya Dimmy tahu sedikit tentang gadis peri. Dari dua mahasiswi (Dimmy tahu mereka mahasiswi karena membawa textbook Globalisation In World Politics-nya Georg Sorensen. Textbook wajib mahasiswa Hubungan Internasional), yang kebetulan sama-sama menunggu bis pagi itu.
(Di bawah ini hanya berupa potongan percakapan dua mahasiswi tersebut diatas, karena Dimmy baru mencuri dengar setelah mereka secara terang-terangan menunjuk si gadis peri).
“Iya dia
“Memang cantik sih”, sahut yang lain.
“Pinter pula”, tambah mahasiswi pertama.
“Eh dia tuh pacarnya siii..”
(Dimmy mempertajam pendengarannya)
“Eh bis nya dateng. Naik yu..”
Dan kedua mahasiswi itu naik bis yang baru saja berhenti di halte, dengan hanya meninggalkan secuil informasi tentang gadis peri. Jadi dia masih kuliah. Terkenal di fakultasnya. Karena cantik, tentunya. Dan pintar. Dan dia pacar…siapa? TUNGGU DULU! Dia sudah punya pacar? Gadis peri pujaan hatinya sudah punya pacar? Apakah lelaki di balik kemudi sedan silver itu?
Dimmy marah. Sangat marah. Sangat cemburu. Dimmy sangat cemburu sampai sangat marah untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Hari ini rutinitas pagi terganggu. Sepuluh menit lewat jadwal biasanya, gadis peri belum muncul. Pojokan jalan itu masih kosong. Hanya ada pohon mangga. Dimmy tak pernah tau mengapa gadis peri selalu berdiri dan menunggu di bawah pohon mangga. Tidak pernah di tempat lain.
Lalu sedan silver itu lewat. Sedikit melambat. Tetapi ketika menyadari gadis peri tak ada di tempat, sedan itu terus melaju. Tidak mencoba mencari ke sekitarnya. Apalagi berhenti. Lelaki di balik kemudi sedan silver itu tak mau menunggu.
Tapi Dimmy akan menunggu. Untuk gadis perinya, Dimmy akan menunggu. Sampai kapanpun. Sampai kapanpun. Sampai kapanpun. S a m p a i k a p a n p u n. Baiklah, sampai jam setengah delapan. Kalau tidak dia akan terlambat sampai ke kantor.
Tapi setidaknya Dimmy menunggu. Tidak seperti lelaki dibalik kemudi sedan silver itu. Tak mau menunggu sedetikpun untuk gadis peri. Padahal mungkin gadis peri itu hanya terlambat dan bukannya tak datang. Mungkin sekarang dia masih menyisir rambut coklatnya atau mengoleskan lotion ke kulit seputih susunya. Atau mungkin gadis peri sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah sampai ke pojokan jalan. Dia hanya sedikit terlambat dan bukannya tak datang.
I will be waiting.. I will be here..
Semenit lagi. Waktu Dimmy tinggal semenit. Tapi pojokan itu masih kosong. Mungkin menunggu gadis peri untuk muncul hari ini memang sia-sia. Mungkin lelaki di balik kemudi sedan silver itu lebih tau. Gadis peri memang tak pernah terlambat. Artinya, kalau dia tak ada, pasti dia tak datang. Tak datang dan bukannya terlambat. Tentu saja lelaki di balik kemudi sedan silver itu lebih tau dari Dimmy. Dia kan pacarnya. ARGH! Tidak. Dia belum tentu pacar gadis peri. Mungkin dia hanya teman kampus, sepupu, atau sopir. Yang pasti dia belum tentu pacar gadis peri.
Dan Dimmy menoleh ke arah pojokan itu. Masih kosong. Bukan sekedar kosong. Tapi hampa. Hari ini akan hampa buat Dimmy. Dan Dimmy sangat merindukan gadis peri.
He misses her untill it hurts. Untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Dua hari lalu.
Gadis peri muncul lagi. Setelah 4 hari yang paling hampa dalam hidup Dimmy. Masih dengan rambut panjang kecoklatannya yang tergerai. Masih dengan wajahnya yang nyaris sempurna dan senyum paling luarbiasa yang pernah dilihat Dimmy.
Hi… I’ve been missing you..
Dimmy merasa seperti pecundang. Sungguh. Dimmy ingin menghampiri dan menyapa gadis peri.
Aku menunggumu empat hari ini. Menunggumu untuk muncul. Aku setia menunggu dan percaya. Bahwa kau akan muncul. Setiap hari menunggu dengan harapan. Bahwa kau sekedar terlambat. Dan bukannya tak datang. Tidak seperti lelaki di belakang kemudi sedan silver itu. Setelah hari pertama kau tak datang. Dia tak pernah muncul lagi. Padahal mungkin saja esok harinya kau datang kan? Maka dari itu aku selalu menunggumu. Setia menunggumu. Tidak seperti lelaki di belakang kemudi sedan silver itu. Bahkan mungkin dia tak akan datang lagi hari ini.
Tapi itu cuma suara-suara di kepala Dimmy. Dimmy merasa seperti pecundang. Terus menunggu sampai saat yang tepat untuk menyapa gadis peri. Mungkin sebentar lagi. Lima menit lagi.
Lalu sedan silver datang membawa gadis peri. Dan menghilang di tikungan.
Oke mungkin besok.
Dan Dimmy merasa seperti keledai yang sangat dungu, pecundang nomor satu. Untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Kemarin.
Mungkin satu hal yang akan disesali Dimmy adalah bercerita pada Mars. Laki-laki ceking yang dia sebut sahabat selama 10 tahun ini. Sahabat semenjak SD. Dimmy tak pernah menyesal sebelumnya menceritakan apapun pada Mars. Tapi kali ini Dimmy menyesal telah menceritakan soal gadis peri pada Dimmy.Untuk pertama kalinya dalam duapuluhempat tahun hidupnya.
“Loe ga berani bahkan untuk sekedar nyapa dia?”, Mars menyulut batang Marlboro Menthol nya yang ke delapan untuk hari itu.
Yeah, pathetic isn’t it?
“Nyapa dia aja loe ga berani, Dim?”, Mars menghembuskan asap rokok dari hidungnya sambil geleng-geleng kepala.
Iya, lucu ya? Hei ini Dimmy yang katanya banyak digandrungi teman-teman perempuannya waktu SMA.
“Nyapa aja ga berani..”, Mars seakan baru menemukan kalimat itu dan sangat menyukainya hingga perlu mengulang sampai tiga kali.
Iya Mars, tidak berani. Ulang, tidak berani dengan huruf kapital cetak tebal dan digaris bawah hingga tampak seperti ini: TIDAK BERANI.
“N y a p a a j a g a b e r a n I ..”, oke diulang empat kali dengan setiap kali terdengar makin dramatis.
Thank you but you’re not helping, Mars.
Entah kenapa. Tapi sepertinya gadis peri itu punya sesuatu yang membuat Dimmy tidak menjadi Dimmy. Dimmy yang hanya mampu menatap seorang gadis yang membuat perasaannya tak menentu. Dan sumpah. Ini yang untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
“Jadi mau loe gimana Dim?”, kali ini Mars bertanya dalam nada yang lebih manusiawi.
Aku mau menyapanya. Mengenalnya. Menikmati senyumnya. Membuatnya tertawa. Menjadikannya kekasihku. Dan pada akhirnya menjadikannya istriku.
“Ahhh!!!! Dimmy jatuh cinta sodara-sodara!!!!”, dengan gerakan yang tiba-tiba, Mars bangkit dari duduknya dan merentangkan kedua tangannya.
Jatuh cinta? Tentu saja, Mars. Need no rocket scientist to know what I feel right now.
“Sapa dia, Dim. Ajak kenalan. Ajak jalan. Tembak. Ah kaya ngajarin ABG baru belajar naksir cewe nih”, Mars garuk-garuk kepala.
Aku justru ingin membunuh perasaan ini.
“Hello? Dimmy? Membunuh perasaan itu? M e m b u n u h p e r a s a a n i t u?”, tampaknya mengulang kalimat dalam nada yang terdengar kejam menjadi hobi baru Mars.
Semuanya terlalu sempurna, Mars. Gadis peri. Rutinitas pagiku bersamanya..
“Koreksi, menatapnya dari jauh. Bukan bersamanya”, potong Mars, masih dengan nada kejam.
Meskipun hanya menatapnya dari jauh, tetap saja aku bersamanya. Dalam ruang dan waktu yang sama, setidaknya. (Mars mendengus geli) Perasaanku. Semua terlalu sempurna. Aku takut aku merusak kesempurnaan itu jika melangkah lebih jauh dari ini.
“Dimmy, loe udah 24 tahun. Harusnya loe sadar bahwa ga ada yang sempurna di dunia ini. You’re just being a coward. Pengecut. That’s it”, suara Mars tidak meninggi. Pelan saja bahkan. Tapi menohok.
Maaf? Pengecut?
“Iya. Apa namanya kalau cuma berani menatap dari jauh tanpa berani untuk sekedar menyapa? Dan maaf, membunuh perasaan itu? Get real. Itu namanya lari dari kenyataan”, Mars sudah duduk lagi. Menyulut batang kesembilannya.
Tapi dia dijemput pacarnya tiap hari, Mars.
“Yakin itu pacarnya? Tau dari mana? Loe harus berani nyapa dan kenalan sama dia untuk bisa tau. Ga bisa ngandelin dua mahasiswi tukang gosip untuk tau itu. Kalaupun toh dia pacarnya, terus kenapa? Seenggaknya loe udah kenalan sama dia”, Mars mulai tampak jengkel.
Aku..
“Loe takut. Bukan takut merusak kesempurnaan. Tapi takut patah hati. Dan Cuma laki-laki pengecut yang takut patah hati!”
Yah…
Dimmy tahu dia pengecut. Dimmy sadar betul. Tapi tetap, mendengarnya dari mulut orang lain rasanya menyakitkan. Dan Dimmy merasa harga dirinya diinjak-injak. Bukan untuk pertama kalinya memang. Tapi oleh sahabatnya sendiri? Ini untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
Pulang ya, Mars..
Mars hanya mengangguk dan mematikan batang kesembilannya.
Tadi malam.
Dimmy memikirkan baik-baik percakapannya dengan Mars kemarin. Menyakitkan. Tapi kebenaran memang seringkali tidak menyenangkan.
Reality sucks.
Dimmy belum pernah disebut pengecut seperti kemarin. Sepertinya kata pengecut itu terbuat dari besi baja seberat seribu ton dan dilempar sekuat tenaga oleh sahabatnya dengan seringai menyebalkan tepat ke mukanya. Koreksi. Sepertinya kata pengecut itu terbuat dari besi baja seberat seribu ton yang masih panas, dengan paku-paku tajam menancap di sekelilingnya, dan dilempar sekuat tenaga oleh sahabatnya denga seringai menyebalkan tepat ke mukanya.
Besok dia harus menyapa dan mengenal gadis peri. Harus berani. Dan sekarang Dimmy merasa sangat berani sekaligus sangat takut. Dimmy merasa sangat berani sekaligus sangat takut untuk pertama kalinya dalam duapuluh empat tahun hidupnya.
No comments:
Post a Comment